News & Updates

Letda Pnb Sukardi (nomor lima dari kiri) dilantik sebagai penerbang pada 20 Oktober 1953 di Lanud Andir, Bandung. Foto: Dok. Sukardi

Nama Jupiter sangatlah bergengsi di lingkungan penerbang TNI AU. Karena hanya instruktur penerbang yang berhak menggunakan nama ini. Makanya tidak heran tim aerobatik kebanggaan TNI AU saat ini menggunakan nama Jupiter Aerobatic Team (JAT). Karena JAT diawaki oleh para instruktur penerbang (IP).

Setiap penerbang TNI AU yang pernah menjadi IP di Sekolah Penerbang (Sekbang) TNI AU, pasti akan mempunyai call sign khusus yang berbeda dengan call sign penerbang di skadron udara operasional.

Bagi siapapun call sign dengan nama Jupiter (Jutu Pendidik Terbang) merupakan kebanggaan tersendiri. Call sign tersebut seperti call sign angkatan udara yang lain, akan menjadi miliknya untuk selamanya.

Seperti ditulis di buku “Saatnya Berbagi Pengalaman dan Rasa” (2010) yang ditulis Marsekal (Pur) Sukardi, dulunya call sign yang berlaku di lingkungan Sekbang menggunakan nomor pesawat yang disambung dengan nama IP.

Lama kelamaan dianggap tidak praktis dan membuang waktu jika harus melakukan panggilan di udara. Lebih-lebih saat melaksanakan latihan terbang atau malah dalam situasi emerjensi. Karena itu dalam situasi relatif santai, para IP sering mendiskusikan call sign baru yang lebih praktis sekaligus mempunyai ciri khusus.

Maka pada suatu hari, Oktober 1960, Kapten Pnb Sukardi, Kapten Pnb Suyitno, Lettu Pnb Saputro, dan Kapten Pnb Iskandar bersama-sama di satu mobil combi Mercedes Benz biru. Mereka dalam perjalanan dari mess IP di dekat Museum Kridosono, Yogyakarta menuju Lanud Adisucipto.

Sambil ngobrol ngalor-ngidul , Sukardi melontarkan idenya memberikan sebuah nama untuk call sign instruktur. “Bagaimana kalau namanya Jupiter,” ujar Sukardi.

Teman-temannya balik bertanya, kenapa harus Jupiter? Pasalnya sebelumnya sudah ada beberapa nama diajukan sebagai call sign. Seperti Eagle, Venus, dan Mercurius. Sukardi menjelaskan alasannya menawarkan nama Jupiter.

Pertama, Jupiter dalam legenda Yunani kuno adalah Dewa Lazuardi, Dewa Langit yang bisa berganti wujud sebagai Lucetius, pembawa sinar penerbang atau sebagai Elicius yang membawa kesejukan atau hujan.

Lalu apa kaitannya dengan penerbang?

Taruna penerbang adalah prajurit muda yang memerlukan ilmu dan pengetahuan. Dewa Jupiter akan mampu memberikan air atau kesejukan serta sinar penerang kepada mereka.

Alasan kedua, karena Jupiter itu planet terbesar dalam tata surya. “Padahal nggak ada kaitannya juga,” ujar Sukardi tertawa. Alasan ketiga malah lebih sederhana.

“Karena enak didengar dan lebih distinctive dibanding call sign skadron udara yang ada.”

Setibanya di Lanud, nama Jupiter mengalir begitu saja disampaikan kepada Mayor Pnb Agustinus Andoko yang merupakan Komandan Wingdik 001. Di dekatnya berdiri dua instruktur senior yaitu Kapten Pnb Sutopo dan Kapten Pnb Sudarman.

Sekali lagi, Sukardi menjelaskan kepada komandannya, alasan mengusulkan nama Jupiter. Rupanya angin lagi berembus tenang, ketiganya langsung setuju.

Malahan Mayor Andoko memerintahkan agar call sign Jupiter sudah dipergunakan pada akhir Oktober 1960 sesuai urutan senioritas para instruktur penerbang.

Karena IP paling senior di Wingdik 001 adalah Mayor Andoko, maka beliaulah yang berhak menyandang panggilan Jupiter 01. “Saya sendiri mendapat call sign Jupiter 14,” aku Sukardi. Karena pada saat itu hanya ada 18 instruktur, maka urutannya adalah nomor 01 sampai 20.

Ada loncatan nomor karena Kapten Pnb Supadio yang harusnya mendapat kode Jupiter 13, tidak mau memakainya. Ia memilih nomor urut Jupiter 20.

Para IP dengan nomor urut Jupiter 10, 11, 12, 14, 15, 16, 17, 18, dan 20 adalah lulusan Sekolah Instruktur Penerbang pada September 1960.

Marsekal TNI (Purn) Sukardi (berdiri kedua dari kanan) bersama para kru udara pesawat Hercules

Proses penetapan call sign Jupiter berlangsung amat singkat dan tidak bertele-tele. “Begitulah orang udara mengambil keputusan, cepat dan tepat. Karena di udara serba cepat, tidak banyak waktu untuk bicara banyak,” jelas Sukardi.

Sukardi mengenang masa sekitar 57 tahun lalu itu begitu indah dan berkesan. Berawal dari obrolan santai di dalam mobil, call sign Jupiter pun lahir secara alami dan berlangsung cepat.

Marsekal (Pur) Sukardi mencapai puncak kariernya sebagai KSAU pada 1982, menggantikan Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi.

Saat ini, diusia senjanya 86 tahun (Bojonegoro, 30 Desember 1931), Sukardi menjadi satu-satunya jenderal berbintang empat tertua yang menjadi saksi hidup perjalanan bangsa Indonesia.

Saat ini Jupiter number sudah mencapai jumlah 885. Artinya call sign Jupiter sudah diberikan kepada 885 perwira penerbang TNI AU.

Para instruktur penerbang TNI AU dibagi ke dalam empat kategori yaitu A, B, C, D. Kategori A diberikan kepada komandan lanud atau Jupiter kehormatan.

Kategori B adalah para checker, yaitu instruktur penerbang yang sudah mencapai 250 jam instruksi. IP ini memiliki tugas dan tanggung jawab untuk merilis siswa melaksanakan terbang solo.

Kategori C diberikan kepada instruktur penerbang setelah mencapai 75 jam instruksi. Tugas mereka hanya memberikan supervisi.

Kategori D adalah pengelompokkan bagi instruktur penerbang yang baru lulus dari Sekolah Instruktur Penerbang. Karena masih baru, tugas mereka hanya sebatas mengajar terbang saja.

“Jadi yang membedakan hanya kewenangan terhadap siswa sekbang,” ujar Mayor Pnb Ulung Purwodanta, yang pernah menjadi instruktur di Sekbang TNI AU dan sekarang Dan Flight di Skadron Udara 31.

Mayor Pnb Ulung yang alumni AAU 2006 dan penerbang C-130 Hercules di Skadron Udara 31, masuk kategori D. Ulung mengantongi Jupiter number 870.

Profil Marsekal TNI (Purn.) Soekardi :
Nama: Marsekal TNI (Purn.) Soekardi
Tempat, Tanggal Lahir: Bojonegoro, 30 Desember 1931
Bapak: K. Prawirodiredjo
Ibu: Saodah


Pendidikan
– Sekolah Teknik Bagian Elektro, Malang (1938)
– Sekolah Montir Pesawat, Bandung (1940-1942)
– Sekolah Penerbang AURI di Pangkalan Udara Andir, Bandung
– Pendidikan transisi untuk pesawat C-47 Dakota (1954)
– Sekolah Ilmu Siasat (SIS) (1955)
– Pendidikan transisi pesawat Ilyushin IL-14 (1958)
– Pendidikan transisi pesawat C-130 Hercules B (1961)
– Sekolah Instruktur Penerbang (1960)
– Sekolah Staf dan Komando AU (Seskoau) (1964)
– Seskoad (1967-1968)
– Kursus Sistem Management Hankam (1973)


Riwayat Jabatan
– Penerbang Dakota C-47 pada Skadron Dinas Angkutan Udara Militer (DAUM) yang berkedudukan di pangkalan udara Andir, Bandung.
– Penerbang Pesawat AVIA-14
– Penerbang pesawat kepresidenan “Dolok Martimbang” di era Presiden Sukarno serta lama menjadi penerbang C-130B Hercules bahkan menjadi penerbang pesawat kepresiden di era Presiden Suharto
– Instruktur Penerbang pada Wing Pendidikan (Wingdik) 1 di pangkalan udara Adisutjipto (1960)
– Penerbang C-130B pada Skadron 31 di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma
– Perwira Latihan Skadron 31 Wing Ops 001. Pada tahun 1963 Soekardi dipindah menjadi
– Komandan Skadron 2 Wing Ops 001 (1963)
– Asisten Direktur Pengadaan Luar Negeri MBAU I (1965)
– Direktur Pengadaan di MBAU. Pada 1 Januari 1968 menjabat sebagai
– Komandan Pangkalan Udara Utama (Lanuma) Halim Perdanakusuma di Jakarta (1 Januari 1968)
– Panglima Komando Daerah Angkatan Udara (Kodau) VII yang berkedudukan di Biak, Irian Jaya (1970)
– Panglima Kodau V yang berkedudukan di Jakarta (1973)
– Asisten Operasi Depahnkam dan Asisten Operasi Kopkamtib (1975)
– Wakil Panglima Kowilhan (Komando Wilayah Pertahanan) II Jawa – Madura – Nusa Tenggara yang berkedudukan di kota Yogyakarta (1977)
– Panglima Komando Strategis Nasional (Kostranas) dengan pangkat Marsekal Madya TNI (1981)
– Kasau 18 Desember 1982

Riwayat Penugasan
1. Operasi penumpasan pemberontakan Republik Maluku Selatan
2. DI/TII di Jawa Barat
3. Pemberontakan PKI Madiun
4. Peristiwa Andi Azis
5. Westerling
6. PRRI/Permesta
7. Operasi Trikora
8. Operasi Dwikora
9. Operasi Gerakan 30 September 1965
10. Operasi Naga
10. Gangguan keamanan Aceh